#malam di mana kamu pergi.#

ada banyak sekali rahasia yang ayu sembunyikan dari arkana wardhana, kekasihnya yang telah menemaninya selama setahun terakhir. rahasia yang menurutnya terlalu kelam untuk diungkapkan, rahasia yang mungkin akan menghancurkan semua yang telah mereka bangun bersama.

“mungkin lebih baik tidak memberitahu,” pikir ayu setiap kali rasa bersalah menyelinap. ia tahu, cinta arkana adalah sesuatu yang begitu berharga, tetapi ia juga tahu, bahwa cinta itu mungkin rapuh ketika dihadapkan pada kenyataan yang pahit.

malam itu, ia habiskan dengan linangan air mata. ia menangis tersedu-sedu di sudut kamar yang remang, hanya ditemani bayangan dirinya sendiri di cermin. menangisi kelemahan yang tak pernah bisa ia taklukkan, menangisi kenyataan bahwa ia, manusia yang dianggap “gila” oleh sebagian orang, justru harus menerima cinta sebesar itu.

arkana wardhana adalah segalanya baginya. sejak mereka berpacaran, hidup ayu kembali berwarna. hari-hari yang dulu dipenuhi oleh rasa hampa kini terisi dengan kehangatan pesan suara, tawa di tengah malam, dan video call yang tak jarang berlanjut hingga dini hari. “aku sayang kamu, ayu,” kata-kata arkana selalu terdengar seperti mantra yang mampu mengusir segala duka.

sakitnya mulai berkurang sejak satu tahun yang lalu, saat dokter memberikan diagnosis: dysthymia, atau yang dikenal sebagai persistent depressive disorder. meskipun gejalanya ringan, rasa sedih itu selalu bertahan lama, seolah menolak pergi. tapi dengan kehadiran arkana, dunia ayu terasa sedikit lebih baik.

namun, malam itu segalanya berubah. malam itu, ayu memutuskan untuk jujur.

“aku harus memberitahunya,” bisiknya pada diri sendiri, meskipun hatinya terasa seperti diremas. di layar ponselnya, nama “arkana wardhana” terpampang jelas. ia memandangi nama itu lama, sebelum akhirnya memberanikan diri menekan tombol panggil.

“ayu? lagi apa?” suara arkana di ujung telepon terdengar hangat, seperti biasa.

“aku mau ngomong sesuatu,” kata ayu dengan suara bergetar.

“ada apa? suaramu kenapa?”

hening sejenak. ayu menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian yang ia punya. “aku... aku mau jujur soal sesuatu. selama ini, aku sembunyikan ini dari kamu.”

“apa maksud kamu?” nada suara arkana mulai berubah, terdengar lebih serius.

dan akhirnya, ayu mengungkapkan segalanya. tentang diagnosisnya, tentang rasa sakit yang selama ini ia tanggung sendirian, tentang malam-malam panjang yang ia habiskan dengan menangis tanpa alasan.

di ujung telepon, arkana terdiam.

“kenapa kamu nggak pernah bilang?” akhirnya ia berkata, suaranya terdengar lebih pelan, lebih berat. “aku nggak tahu apa-apa, ayu. maaf kalau selama ini aku nggak pernah jadi laki-laki yang cukup baik untuk kamu.”

“arkan, kamu laki-laki terbaik yang aku punya,” ayu membalas, air mata mulai membasahi pipinya. “aku cuma takut kamu pergi kalau aku bilang.”

“aku rasa kita nggak bisa lanjut, ayu,” suara arkana tiba-tiba terdengar dingin. “aku nggak mau bikin kamu lebih sakit dari ini.”

“jangan bilang gitu, arkan! aku nggak mau kehilangan kamu. kamu segalanya buat aku,” ayu memohon, suaranya pecah karena tangis.

tapi arkana tetap pada pendiriannya. “aku harap kamu bisa nemuin laki-laki yang lebih baik dari aku. aku nggak pantas buat kamu.”

air mata ayu terus mengalir deras. napasnya tersengal, dan hatinya terasa seperti ditusuk berkali-kali. “arkan, aku nggak butuh laki-laki lain. aku cuma butuh kamu,” katanya sambil terisak, berusaha meyakinkan. “aku tahu aku nggak sempurna, tapi aku nggak pernah minta apa-apa, aku cuma mau kita tetap bersama.”

hening. di seberang sana, arkana tidak segera menjawab.

“ayu, aku nggak tahu lagi harus bilang apa,” katanya akhirnya, dengan suara yang terdengar begitu lelah. “aku juga sayang kamu, tapi aku nggak bisa terus begini. kamu butuh seseorang yang benar-benar bisa ada buat kamu. aku ini apa? laki-laki yang sibuk, yang nggak pernah ngerti perasaan kamu. aku cuma bikin kamu tambah sakit.”

“tapi aku nggak peduli, arkan!” ayu berteriak, meskipun suaranya pecah. “aku nggak peduli kamu sibuk, aku nggak peduli apa pun itu. aku cuma mau kamu. jangan pergi, aku mohon...”

namun, permohonan itu seperti menabrak tembok yang kokoh.

“ayu,” kata arkana, dengan suara yang kini terdengar dingin dan tegas. “aku nggak mau ini berlanjut kalau akhirnya cuma bikin kamu tambah terluka. kamu mungkin nggak sadar sekarang, tapi nanti kamu bakal ngerti. aku nggak bisa terus ada di sini.”

ayu jatuh terduduk di lantai kamarnya. ponselnya terlepas dari genggamannya, tapi ia masih bisa mendengar suara arkana yang mengatakan kalimat terakhirnya sebelum sambungan terputus.

“aku harap kamu bahagia, ayu. aku harap kamu nemuin orang yang bisa lebih baik dari aku.”

lalu, beep. sambungan itu mati.

ayu memandangi layar ponselnya yang kini gelap. dunia di sekelilingnya terasa runtuh, seperti tidak ada lagi yang tersisa. ia meremas ponselnya erat-erat, berharap itu bisa membawanya kembali ke pelukan arkana, tapi tidak ada yang berubah. hanya suara keheningan malam yang mengelilinginya.

beberapa hari berlalu, ayu tidak lagi mendengar kabar dari arkana. pesannya tidak dibalas, panggilannya tidak diangkat. semua terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.

hari-hari yang dulu diisi dengan tawa kini kembali menjadi sunyi. malam-malam yang dulu terasa hangat kini berubah dingin. ia duduk di balkon kecil apartemennya, memandang ke langit yang gelap tanpa bintang.

“aku bodoh,” bisiknya pada dirinya sendiri. “kenapa aku nggak bisa lebih baik? kenapa aku nggak bisa menjaga dia?”

ayu tahu, arkana tidak sepenuhnya salah. ia juga paham bahwa cinta mereka bukan sekadar tentang rasa, tapi juga tentang kekuatan untuk saling menguatkan. dan mungkin, di mata arkana, ia terlalu lemah.

namun, meski begitu, hatinya masih terus berharap.